Siapa kandidat ketua umum DPP IMM 2008-2010?

Senin, 17 Maret 2008

Meretas Jalan Globalisme Islam

Ma`ruf Muttaqin

Pendahuluan

Ratusan tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah-rempah dan lain sebagainya. Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam rengkuhannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam. Sekitar abad 14 atau 15, Haramain (Mekkah dan Medinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Muslim berinteraksi membangun jaringan “global”. Tapi, semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.

Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transportasi global semuanya bisa dipermudah dan dipercepat hanya dalam sepersekian jam, menit bahkan detik. The world is flat, demikian Thomas L. Friedman mengilustrasikan dunia yang semakin tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima akselerasi perubahan dunia dengan mudah. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumanisasi kemanusian manusia. Membuat kehidupan menjadi penuh dengan main-main dan bersenda gurau (laiba wa lahwa).

Ernest Gelner, seorang intelektual yang sangat fasih berbicara tentang peradaban bahkan menyebut kedua istilah tersebut sebagai istilah mutakhir dari relativisme kuno. Sedang Akbar S. Ahmed intelektual muslim yang menulis buku fenomenal tentang “Islam dan Posmodernisme” menyebut kedua istilah tersebut sebagai ancaman serius bagi dunia Islam, bahkan lebih berbahaya dari kekuatan militer sekalipun. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Sayyed Hussein Nashr dalam menghadapi modernitas ataupun posmodernitas secara lebih realistis, baginya modernisme maupun posmodernisme merupakan realitas dan tidak mungkin kita bisa mengelak. Maka hadapi, hayati dengan kritis dan nikmati dengan batasan. Dan fides quern intellectum (rasionalitas keimanan) adalah jalan satu-satunya untuk menjawab realitas tersebut.

Hanya saja resep-resep tersebut belakangan juga dirasakan kurang cukup mampu memberikan tawaran pertahanan, karena ternyata arus deras globalisai dan efek posmodernitas telah masuk dalam tiap sisi kehidupan ummat Islam. Belakangan, Ernest Gelner dan Akbar S. Ahmed dinilai gagal dalam membaca dan menempatkan posmodernisme; apakah posmodernisme dianggap sebagai counter terhadap modernisme atau malah sebagai high modernisme. Sementara rasionalisasi keimanan yang ditawarkan Nashr atau yang kini dimamah biakan oleh Alm. Caknur dan kalangan liberal juga dianggap kurang realistis.

Metafora Globalisme

Setiap manusia adalah melankolis, demikian uangkapan Nietzsche dalam bukunya (On the Advantage and disadvantage of history of life) yang tampaknya pas dengan fenomena yang terjadi dalam realitas wacana dan kehidupan manusia saat ini. Pasalnya, manusia terkadang merasa tidak nyaman dalam kehidupan yang nyata.

Ketidak realistisan resep-resep untuk menghadapi posmodernitas pada akhirnya melahirkan sikap-sikap pesimistis terhadap kehidupan, lebih lanjut muncul memori-memori yang mengharapkan kehidupan pra-modern hadir kembali di era kekiniian. Sekaligus melakukan oposisi terhadap realitas kehidupan masa kini.

Sebagai bentuk perlawanan tersebut maka, muncullah apa yang disebut dengan fundamentalisme, yang dikemudian hari melahirkan eukumenisme global dalam ummat Kristen dan globalisme Islam dalam dunia Islam. Hanya saja karena adanya perbedaan pemahaman terkait otoritas gereja dalam ummat kristiani. Dan karena potensi-potensi yang ada saat ini lebih dimiliki Islam maka harapan globalisme hanya dimungkinkan dalam dunia Islam (Turner, 1994).

Lihat saja bagaimana PKS ataupun Hizbut Tahrir maupun gerakan-gerakan Islamisme lain yang menunjukan militansi dan harapan-harapan penegakan syari’at Islam kian menggejala dan menjadi fenomena tersendiri dalam belantara diskursus pewacanaan kebangsaan saat ini.

Hizbut Tahrir misalnya, sebagai sebuah gerakan politik global merupakan sebuah fenomena yang lahir dari proses de-fragmentasi keyakinan akan keabsolutan agama. Kelahirannya ditujukan untuk mengutuk dan mengatakan tidak pada posmodernitas yang nyata-nyata mengancam keabsolutan nilai-nilai agama oleh mainstreaming budaya masa (globalisasi) yang penuh dengan parodi, kebohongan dan hiperrealitas.

Akhirnya, muncul keyakinan bahwa posmodernisme mengancam akan mendekonstruksi seluruh penjelasan teologis tentang realitas menjadi sekedar cerita-cerita bohong atau narasi-narasi besar mitis yang menyembunyikan anggapan-anggapan yang salah terhadap kehidupan dan realitas (metaphoricality).

Dalam era-modern, gerakan Islam seperti Muhammadiyah, persis dan gerakan salafiyahlainnya merespons modernisasi dengan membangun etika kerja keras dan disiplin diri yang asketik. Guratan sejarah dan artefak peradaban tersebut belakangan dikukuhkan sebagai keberhasilan Muhammadiyah dan gerakan Islam modernis lainnya meminjam istilah Ernest Gellner dalam menciptakan masyarakat Islam yang berkebudayaan tinggi—high-Islam.

Sedang Islam kontemporer seperti HTI dan Majlis Mujahidin merespons postmodernitas dengan politik komunitas global yang sifatnya fundamental dan dengan etika kesucian moral yang anti konsumerisme dengan didasarkan pada doktrin-doktrin Islam klasik. Atau apa yang lebih dikenal dengan Islamisme, yaitu pandangan holistic yang menganggap Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Pandangan hidup yang juga merupakan fondasi awal menuju pembentukan masyarakat (takwinul ummat) yang berskala global.

Sebatas ini, ide globalisme merupakan sebuah keniscayaan. Disamping karena hampir seluruh mode gerakan Islam kini mulai menemukan titik temu permasalahan yang mengancam keabsolutan fondasi keagamaan. Juga karena ancaman tersebut ternyata membuat mode gerakan Islam berhasil menemukan alasan globalisme Islam.

Meski memang tetap saja paradoks, karena nyatanya ancaman yang dalam publik intelektual Indonesia kita kenal dengan istilah efek posmodernitas; mulai dari globalisme, multikulturalisme, ataupun liberalisme dan terutama globalisasi nyata-nyata telah meniscayakan sistem komunikasi global yang membuat arus informasi Islam terkoneksi secara global. Komunikasi global juga meniscayakan dunia Islam membuka diri dan berinteraksi dengan pluralitas kebudayaan yang konsumtif dan hedonis. Yang secara tidak disadari pula telah ikut andil memberi harapan globalisme Islam.

Globalisme Islam niscaya akan semakin paradoks, bila kita beralih pada permasalahan yang paling fundamental dari ide globalisme Islam yakni otoritas dan kepemimpinan. Maka, akan kita dapati bahwa ternyata permaslahan utama dari upaya globalisme Islam adalah perdebatan mengenai otoritas, baik otoritas lokal maupun otoritas global. Karena cita-cita utama globalisme Islam adalah melindungi dan mengamankan regulasi dalam tataran lokal maupun global.

Eukumenisme atau ide penyatuan ummat kristiani misalnya juga tidak pernah nyata dalam sejarah dunia hanya karena pertentangan otoritas gereja. Begitupun Islam yang bagi Briyan S. Turner ataupun Ernest Gelner disebut-sebut sebagai satu-satunya agama yang akan mampu mempraktekan ide globalismenya, juga ternyata selalu diwarnai pertentangan dan perebutan otoritas setelah munculnya istilah khilafah, sultah dan Imamah yang hingga saat ini juga tak pernah selesai diperdebatkan.

Kedua bentuk otoritas tersebut juga ternyata tak cukup kuat untuk mengusung ide globalisme Islam. Legitimasi, sultah ataupun khilafah dalam terminologi dan perspektif Sunni sangatlah lemah, karena Khilafah dalam term dan perspektif Sunni sangatlah uthopis, dan terkadang sekuler akibat dari hasrat kekuasaan yang tak mampu diredam dalam sistem ini. Karena kelemahan itulah, logika kepemimpinan dalam Sunni tak jarang dibangun dengan cucuran darah dan air mata, layaknya Yazid bin Muawiyah yang merebut otoritas dengan membantai Hussein putra Imam Ali di karbala. Sementara itu, kitapun belum tentu bisa sreg secara penuh dengan konsep Imamah yang sangat patrimonial dalam perspektif syi’ah.

Calvinisme atau etos kerja yang ditunjukan Islam modernis dan fundamentalisme yang dilahirkan oleh Islam kontemporer merupakan dua hal yang tampaknya harus direthinking. Karena ternyata, baik calvinisme yang diyakini Islam modernis seperti muhammadiyah maupun fundamentalisme yang dipegang Hizbut Tahrir merupakan sikap-sikap yang lahir dari keyakinan ummat Islam yang melankolis dan kadang tidak cukup menyelesaikan masalah.

Kesimpulan

Meski fundamentalisme telah banyak dijadikan pilihan terakhir dalam mengahadapi tantangan posmodernitas oleh gerakan Islam kontemporer, tawaran untuk berdialog dengan posmodernitas merupakan jalan lain yang tampaknya patut dipertimbangkan untuk menjalankan kehidupan selanjutnya. Karena walau bagaimanapun, posmodernisme pada dasarnya bertujuan untuk membongkar apa yang diyakini kaum fundamentalis sebagai narasi dan kebohongan hidup. Dengan demikian bahwa, fundamentalisme Islam sebetulnya bukanlah satu-satunya jalan untuk meneruskan kehidupan selanjutnya. Globalisme Islam juga bisa saja dimaknai lain tanpa Khilafah ataupun Imamah, dan bahwa another world is possible.

Penulis adalah Sekretaris Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat 2006-2007

Tidak ada komentar: